
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
مَنْ لَمْ يَصُنِ الْعِلْمَ لَمْ يَصُنْهُ العِلْمُ
“Siapa saja yang tidak menjaga ilmu, maka ilmu tidak akan menjaganya.”
Seorang penuntut ilmu yang merusak muru`ahnya (kewibawaan) sendiri, berarti ia telah merendahkan ilmu, tidak mengagungkannya dan telah terjatuh kepada hal yang tidak pantas, sehingga identitas ilmu akan hilang darinya.
Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata,
لَا يَكُونُ البَّطَالُ مِنَ الْحُكَمَاءِ
“Tidaklah orang-orang yang suka menganggur itu termasuk dari kalangan orang-orang yang bijak.”
Inti dari muru`ah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah (kakek) dalam kitab “Al Muharrar” dan diikuti oleh cucunya dalam sejumlah fatwanya, adalah,
اسْتِعْمَالُ مَا يُجَمِّلُهُ وَ يَزِيْنُهُ، وَ تَجَنُّبُ مَا يُدَنِّسُهُ وَ يَشِيْنُهُ
“Melakukan tindakan yang memperindah sesuatu dan memperbagusnya, serta menjauhi prilaku yang dapat memperburuk dan mengotorinya.”
Ditanyakan kepada Abu Muhammad Sufyan bin Uyainah, “Engkau telah beristinbath dari Al Quran segal hal, maka ayat manakah yang menjelaskan tentang muru`ah?” Ia berkata, “Dalam firman Allah,
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَـٰهِلِینَ
“Berilah maaf, perintahkanlah kepada yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’raf: 199)
Pada firman Allah ini terdapat makna muru`ah, kebaikan adab dan kemuliaan akhlak.”
Maka dari itu, diantara adab seorang penuntut ilmu yang harus ia wujudkan dalam dirinya adalah, menghiasi diri dengan muru’ah dan tindakan-tindakan yang membawa kepadanya, serta menjauhi hal-hal yang dapat menodainya, seperti memotong jenggot, terlalu banyak melirik kesana dan kemari saat di jalan, menselonjorkan kaki di hadapan orang-orang tanpa ada keperluan atau darurat, berteman dengan orang-orang fasik, pengangguran, atau banyak bermain-main dan berkelahi dengan para remaja dan anak kecil.
Referensi:
Khulashah Ta’dzimul Ilmi