
Memperindah suara dalam membaca Al-Quran merupakan sebuah amalan yang Nabi shallallohu ‘alahi wasallam perintahkan. Dalam sebuah hadits shohih dijelaskan:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan Al Qur’an,” (HR Bukhari)
Namun dalam hal melagukan Al-Quran, terdapat satu permasalahan yang cukup hangat diperbincangkan di kalangan para pecinta kitabulloh hingga saat ini, apalagi kalau bukan seputar Naghom atau langgam. Pembahasan ini sendiri juga dikenal dengan istilah “Maqomat”.
Pada artikel kali ini, redaksi Qoryatuna akan berusaha membawakan pembahasan tersebut dari sudut pandang penggiat Ilmu Qiroat. Dan masih sama seperti sebelumnya, referensi utama kami adalah kitab “Sunan Al-Qurro” karya Syaikh Abdul Aziz Al-Qori hafidzohulloh yang pernah menjabat sebagai dekan Fakultas Al-Quran Universitas Islam Madinah.
Nada atau melagukan bacaan Al-Quran dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah Luhun (لحون) ataupun Alhan (ألحان). Dimana jika mengulik lebih dalam, akan kita dapati bahwa terdapat beberapa jenis gaya dalam melagukan bacaan yang nantinya kita kenal dengan istilah maqomat. Sedangkan para ulama semisal Ibnu Hajar dan Asy-Syihab Al-Qosthollani rohimahumalloh menyebutnya dengan istilah Qonun An-Naghom (aturan nada).
Perlu diketahui bahwa hal serupa sejatinya juga akan kita dapati saat mempelajari syair arab atau yang dikenal dengan sebutan ilmu ‘Arudh. Dimana dalam ilmu ini kita mengenal istilah Qonun Asy-Syi’ri yang menjadi barometer untuk wazan-wazan syair.
Dan sebagaimana Qonun Asy-Syi’ri bukanlah sebuah ilmu yang hanya dipelajari oleh para penyair yang fasiq, hal serupa juga terjadi dalam Qonun An-Naghom, dimana ilmu ini bukanlah sesuatu yang menjadi ciri khas yang hanya dipelajari dan dipraktekkan oleh para pemain musik dan penyanyi.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu ‘Abbas rhodiyallohu ‘anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
أَنَّ دَاوُدَ كَانَ يَقْرَأ الزَّبُور بِسَبْعِينَ لَحْنًا
“Nabi Dawud ‘alaihiwasallam biasa membaca Al-Qur’an dengan 70 lahn (nada/langgam)” (Fathul Bari).
Ada sebuah pertanyaan yang kerap muncul saat membahas hal ini, yaitu: “Bolehkah membaca Al-Qur’an dengan menggunakan berbagai nada maqomat yang ada?”.
Landasan utama dalam masalah ini sendiri merupakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah Al-Yaman rhodiyallohu, dimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ بِلُحُونِ الْعَرَبِ وَأَصْوَاتِهَا، وَإِيَّاكُمْ وَلُحُونَ أَهْلِ الْفِسْقِ وَأَهْلِ الْكِتَابَيْنِ، فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ مِنْ بَعْدِي قَوْمٌ يُرَجِّعُونَ بِالْقُرْآنِ تَرْجِيعَ الْغِنَاءِ وَالرَّهَبَانِيَّةِ وَالنَّوْحِ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، مَفْتُونَةٌ قُلُوبُهُمْ وَقُلُوبُ مَنْ يُعْجِبُهُمْ شَأْنُهُمْ
“Bacalah Al-Qur’an dengan Luhun (nada/langgam) dan suara orang arab, dan jauhilah nada orang fasik dan ahli kitab, sebab akan datang sekelompok orang yang melagukan Al-Qur’an layaknya nyanyian para rahib dan peratap, bacaan mereka tidaklah mencapai kerongkongan mereka. Hati mereka dan orang yang mengaguminya itu tertipu.” (HR Al-Baihaqi).
Hadits diatas dengan jelas menyatakan bahwa melagukan Al-Qur’an dengan nada para ahli kitab hingga pemain musik merupakan hal yang amat terlarang.
Satu hal yang perlu kita garisbawahi, bahwa fakta banyaknya para ulama yang mengomentari keshahihan hadits ini memang tak bisa dipungkiri.
Namun meskipun kita berasumsi bahwa hadits tersebut shohih, makna yang terkandung tidaklah melarang melagukan Al-Qur’an secara keseluruhan. Sebab cara yang dilarang adalah membaca dengan nada yang sudah menjadi ciri khas ahli kitab, penyanyi hingga orang yang meratap.
Adapun naghom atau maqomat yang ada bukanlah ciri khas khusus yang hanya dimiliki oleh para penyanyi, sebagaimana Qonun Asy-Syi’ri juga bukan hal khusus yang hanya dimiliki oleh para penyair yang fasiq, sebab syair sudah dikenal sejaka zaman dahulu dan dilantunkan oleh orang arab secara umum, seperti yang sudah kita singgung di awal artikel.
Para ulama sendiri sepakat bahwa melagukan Al-Qur’an merupakan hal yang disyariatkan, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang boleh tidaknya menerapkan naghom saat membacanya.
Pendapat pertama: Boleh
Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i beserta para ulama dalam madzhabnya, bahkan Imam Al-Fauroni yang notabene merupakan ulama dalam madzhab Syafi’i mengatakan bahwa hal tersebut disunnahkan.
Selain itu, deretan ulama lain yang juga mengambil pendapat ini adalah Ibnul Mubarok, An-Nadhor bin Syumail dan ‘Atho rohimahumulloh.
Pendapat Kedua: Makruh
Para ulama yang memegang pendapat kedua ini pun tak kalah banyaknya, diantara mereka adalah Imam Malik, Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, Sa’id bin Al-Musayyib, Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin hingga Ibrahim An-Nakho’i rohimahumulloh.
Pendapat Ketiga: Haram
Imam Abdul Wahhab Al-Maliki menukilkan pendapat Imam Malik rohimahulloh yang menyatakan bahwa hal tersebut diharamkan. Hal serupa dilakukan oleh Abu Ath-thoyyob Ath-Thobari, Al-Mawardi, Ibnu Hamdan Al-Hanbali rohimahumulloh, dimana setiap dari mereka menukilkan pendapat para ahli ilmu yang mengharamkannya.
Pendapat yang dipilih
Adapun pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abdul ‘Aziz Al-Qori hafidzohulloh dalam kitab beliau Sunan Al-Qurro adalah bahwa melantunkan Al-Qur’an dengan menggunakan berbagai macam naghom diperbolehkan dengan beberapa catatan:
Pertama:
Jangan sampai mengorbankan hukum-hukum tajwid.
Kedua:
Naghom yang digunakan tidak menghilangkan kewibawaan Al-Qur’an, sebab kita diharuskan untuk membaca Al-Qur’an dengan penuh kekhusyukan dan adab. Dan sebagian naghom yang ada tidak pantas untuk dilantunkan dalam membaca Al-Qur’an lantaran justru menghilangkan nilai kekhusyukan serta rasa takut kepada Allah ta’ala.
Oleh karenanya, seorang yang membaca Al-Qur’an hendaknya menjauhi nada tersebut serta apa yang telah dijelaskan dalam hadits Hudzaifah rhodiyallohu ‘anhu sebelumnya, mulai dari nada pemusik, ahli kitab hingga langgam yang menjadi ciri khas orang non arab. Hendaknya ia menghiasi tilawahnya dengan nada bangsa arab, seperti bacaan para Qori Mesir, Hijaz dan sekitarnya.
Ketiga:
Mengutamakan naghom yang bernada sedih, sebab hal tersebut memang lebih menambah kekhusyukan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Sa’ad bin Abi Waqqosh rhodiyallohu’anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ فَإِذَا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا وَتَغَنَّوْا بِهِ فَمَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِهِ فَلَيْسَ مِنَّا
“Sesungguhnya Al Qur`an turun dengan kesedihan, jika kalian membacanya maka bacalah dengan menangis, jika kalian tidak bisa menangis maka berpura-puralah untuk menangis. Dan lagukanlah dalam membaca, barangsiapa tidak melagukannya maka ia bukan dari golongan kami. “ (HR Ibnu Majah).
Keempat:
Tidak berlebihan dalam menggunakan naghom hingga masuk kategori takalluf atau menyusahkan diri sendiri demi memaksimalkan aturan nada dalam untuk sebuah maqomat. Sebab tujuan inti dari membaca Al-Qur’an adalah agar kita bisa mentadaburinya, sedangkan jika kita terlalu disibukkan dengan memikirkan pengaturan nada dan bahkan sampai terbebani karenanya, maka nilai tadabbur akan semakin sulit untuk diraih. Orang yang melakukan hal tersebut bisa jadi bertujuan untuk unjuk gigi dihadapan para hadirin serta agar bisa mengesankan mereka. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap niat si Qori.
Tak heran jika Imam Malik rohimahulloh saat ditanya tentang seseorang yang mengimami sholat dengan berbagai naghom beliau menjawab:
“Aku tidak menyukainya, mereka melagukan Al-Qur’an dengan tujuan untuk mendapatkan upah”
Kesimpulan
Membaca Al-Qur’an dengan nada yang indah merupakan sebuah amalan yang Rasulullah shalallahu alaihi wa salam anjurkan. Dan tidak mengapa menggunakan beberapa naghom/maqomat selama memperhatikan poin-poin yang kami paparkan diatas. Dan ini sejatinya merupakan pendapat yang tengah-tengah, antara mereka yang melarang atau membolehkan secara keseluruhan.
Dan jika ditelisik lebih dalam, akan kita sadari bahwa pendapat ini sangat dekat dengan pendapat yang dipilih oleh Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajar rohimahumalloh. Mari kita simak penuturan Ibnu Hajar setelah memaparkan berbagai pendapat ulama dalam masalah ini:
“Kesimpulan yang bisa kita ambil setelah menelaah berbagai dalil dalam masalah ini adalah bahwa membaguskan bacaan Al-Qur’an merupakan sebuah amalan yang diperintahkan. Dan jika seseorang tidak memiliki suara yang indah, maka hendaknya ia berusaha membaguskan bacaannya sesuai kemampuan. Hal ini sebagaimana penuturan Ibnu Mulaikah yang merupakan salah satu perawi hadits tersebut (Hadits melagukan Al-Quran), dimana hadits ini juga telah dibawakan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Dan diantara bentuk membaguskan bacaan adalah dengan mengikuti Qonun Naghom, sebab suara yang bagus akan semakin bagus dengan memanfaatkannya, sedangkan saat tidak menggunakan naghom, maka keindahan bacaannya bisa saja berkurang.
Sedangkan orang yang tidak dikaruniai suara indah, maka akan tertutupi saat menggunakan naghom. Hal ini tentunya selama ia tidak mengorbankan hukum tajwid yang telah dijelaskan oleh para ahli Qiroat. Namun jika hal tersebut terjadi (mengorbankan hukum tajwid), maka suara yang indah tak akan bisa menutupi buruknya cara membaca Al-Quran. Dan kemungkinan besar hal inilah yang mendorong sebagian ulama melarang seseorang membaca Al-Quran dengan naghom, sebab memang kebanyakan orang yang membaca dengan naghom justru tak mengindahkan kaidah ilmu tajwid. Akan tetapi jika ada orang yang mampu menjaga keduanya, maka tentu ia lebih baik dari orang lain, sebab ia telah berhasil melaksanakan perintah membaguskan bacaan sekaligus menjauhi larangan menodai kaidah tajwid. (Fathul Bari 9/72)
Semoga Allah subhanahu wata’ala memudahkan kita untuk menjadi ahli Al-Qur’an. Amiin.
Wallahu a’lam bishowab.
Referensi:
Sunan Al-Qurro, Abdul ‘Aziz Al-Qori