Tak Hafal Quran tapi Ingin Punya Sanad, Mungkinkah?

@via unsplash

Sanad merupakan sebuah keistimewaan yang hanya dimiliki oleh umat Nabi Muhammad ﷺ. Tak heran tentunya jika para penuntut ilmu berlomba-lomba untuk dapat memilikinya sejak zaman terdahulu.
Imam Al-Harowi rohimahulloh pernah menuturkan:

الإسناد مطلوب في الدين، رغبت إليه أئمة الشرع المتين، وجعلوه من خصائص أمة محمد سيد المرسلين

“Sanad merupakan suatu keharusan dalam agama ini, para ulama yang kokoh senantiasa berusaha untuk mendapatkannya, mereka meyakini bahwa hal ini merupakan keistimewaan umat Muhammad Sang Penghulu para Rasul”

Bahkan baru-baru ini minat para penuntut ilmu untuk bisa ikut menorehkan namanya dalam silsilah istimewa tersebut nampak semakin besar. Hal ini terlihat jelas dari makin masifnya penyelenggaraan berbagai dauroh dengan embel-embel “hadiah” sanad bagi para pesertanya.

Diantara berbagai sanad yang ada, sanad Al-Quran menjadi primadona utama bagi para pemburu warisan ulama. Bagaimana tidak, silisah satu ini bersambung sampai kepada Rabb semesta alam. Sebuah keistimewaan yang amat menggiurkan.

Namun di zaman sekarang ini terdapat sebuah fenomena yang sebenarnya cukup menyayat hati. Dimana sebagian para pemilik sanad Al-Quran terlalu bermudah-mudahan dalam mewariskan amanah yang telah mereka miliki. Padahal hal ini bertentangan dengan kebiasaan para ulama terdahulu. Dimana mereka baru bersedia memberikan sanad tersebut setelah sang murid dipastikan memenuhi kriteria tertentu. Salah satunya adalah memiliki hafalan Al-Quran dengan baik sesuai dengan riwayat yang hendak diwariskan.

Lantas bagaimanakah jika seseorang mewariskan sanad kepada seorang murid yang belum hafal Al-Quran? Dalam artian proses talaqqi yang berlangsung tidak dengan hafalan, melainkan sang murid membaca dengan mushaf, apakah hal ini dibenarkan?

Para ulama sejatinya cukup serius dalam menanggapi hal ini, banyak diantara mereka yang tak akan rela mewariskan sanad mulia tersebut jika sang murid masih kacau hafalannya, terlebih lagi jika belum pernah hafal.

Pendapat Pertama: Mensyaratkan Hafalan untuk Mendapatkan Sanad

Dapat kita katakan bahwa ini merupakan pendapat mayoritas para Qurro, sebab selain hal ini merupakan adat mereka sejak zaman dahulu, kebanyakan dari mereka juga merasa amat berat jika harus mewariskan sanad kepada orang yang belum menghafal Al-Quran. Bahkan tak sedikit yang justru mengetes hafalan calon muridnya terlebih dahulu. Jika lulus ujian 30 juz, barulah si murid diperbolehkan untuk mulai setoran.

Salah seorang punggawa ilmu qiroat di Madinah, syaikh Ihab Fikri hafidzohulloh pernah ditanya seputar hal ini, beliau pun menjawab:


“Aku tidak paham apa tujuannya (memberikan sanad kepada orang yang tidak hafal Al-Quran), apakah tujuannya agar orang tersebut bisa mengajarkan Al-Quran kepada orang lan? Untuk apa diberikan ijazah sanad Al-Quran?
Sejatinya cukup diberikan tazkiyah (surat rekomendasi) saja yang menyebutkan bahwa orang tersebut telah membaca Al-Quran dihadapannya dengan melihat mushaf dan ia sanggup untuk mengajarkan Al-Quran serta menguasai tajwid dengan baik.
Ia tak perlu diberikan sanad, sebab sejatinya kebiasaaan para Qurro sejak zaman dahulu adalah memberikan sanad kepada mereka yang menyetorkan Al-Quran dengan hafalan, bukan sekedar membaca dengan mushaf.
Maka menurut hemat saya, tak perlu diberikan sanad, akan tetapi cukup diberikan tazkiyah sebagaimana semestinya. Barokallohu fikum”

Rekaman jawaban beliau bisa disimak pada audio di bawah ini:

Hal senada juga disampaikan oleh Syaikh Aiman Rusydi Suwaid hafidzohulloh dalam salah satu majlisnya. Silahkan klik disini untuk menyimak video penjelasan beliau.

Pendapat Kedua: Hafalan Bukanlah Syarat

Adapun para ulama yang membolehkan hal ini, mereka berdalil dengan perkataan Imam As-Suyuthi rohimahulloh saat membahas proses pengambilan sanad Al-Quran :

وأما القراءة من الحفظ فالظاهر أنها ليست بشرط بل يكفي ولو من المصحف

“Adapun membacanya dengan hafalan, maka yang lebih tepat bahwa hal ini bukanlah syarat. Akan tetapi cukup membacanya meskipun dengan melihat mushaf”

Namun demikian, mereka yang mengambil pendapat kedua ini tidak lantas melepaskannya begitu saja, akan tetapi mereka memberikan beberapa syarat dan ketentuan:

Pertama: Murid tersebut memang tidak memiliki kemampuan atau tidak memungkinkan untuk menghafal.
Kedua: Murid menguasai dengan baik ilmu tajwid baik secara teori maupun praktek.
Ketiga: Perlu ditulis dengan detail pada sanad yang diberikan bahwa si murid membaca melalui mushaf, bukan hafalan.
Keempat: Murid yang menerima sanad tersebut tidak memiliki wewenang untuk mewariskan sanad tersebut kepada orang lain. Sebab sanad yang didapatkan dengan cara ini hanya setara dengan tazkiyah.
Kelima: Tidak membuka lebar metode seperti ini kecuali hanya dalam keadaan darurat saja. Sebab ditakutkan akan mengikis semangat kaum muslimin untuk menghafal Al-Quran karena melihat adanya cara mudah untuk mendapatkan sanad tanpa perlu susah payah menghafal.

Kesimpulan

Jika memang mendesak, maka seorang Muqri dibolehkan untuk memberikan sanad kepada orang lain meskipun tidak hafal Al-Quran. Tentunya setelah memenuhi syarat-syarat yang kami paparkan sebelumnya. Hal ini bertujuan agar tidak terjadinya kerancuan di kemudian hari yang menimbulkan anggapan bahwa murid tersebut dahulu mendapatkan sanad dengan hafalannya.

Terakhir, sanad yang diambil dengan cara membaca melalui mushaf tentunya memiliki kedudukan yang lebih rendah dari sanad yang diambil dengan hafalan Al-Quran.
Semoga Allah subhanahu wata’ala memudahkan kita untuk menjadi ahli Al-Quran. Amiin.
Wallahu a’lam.

Referensi:
Al-Itqon, As-Suyuthi
As-Sanad Al-Qurani, Sayyid Muhammad Walad Abdulloh

Ijazah-Al-Qurro, Muhammad bin Fauzan Al-‘Umar

Leave a Reply